Potion II Part 1

Ravensdale, Schuyler, Reinbach

Kepalanya digaruk asal. Gilbert terlalu malas untuk bergerak mencari kelompok yang dapat diganggunya supaya dia tak perlu bekerja maksimal. Heh. Matanya menangkap pemuda Schuyler yang beberapa hari lalu ditemuinya sudah berkelompok dengan seorang gadis Hufflepuff yang nampaknya sangat rajin.

Ah, kelompok yang tepat.

Segera dihampirinya meja mereka berdua, kemudian meletakkan lengannya ke tengkuk Schuyler, sambil memegang salah satu bahan ramuan yang ada di meja.

“Boleh kan aku sekelompok dengan kalian?” cengiran lebar muncul dari bibir yang selalu menguap sejak tadi.

Sekarang Professor Snape memintanya membuat ramuan dari bahan-bahan ini. Kepalanya digaruk pelan, kemudian mencoba mengingat ramuan apa yang berasal dari bahan-bahan yang dipilihnya.

“Ugh, aku lupa. Ini bahan ramuan apa ya?” tangannya memegang bahan kedua dari kiri.


Evanthe Ravensdale & Edwin Schuyler. Meja : 3. Memegang bahan ramuan kedua dari kiri.

Penasaran Ini Membunuhku Part 1

Matanya dikerjap perlahan, berusaha mengadaptasikannya dengan cahaya yang mulai masuk ke dalam kedua iris gelapnya. Mulutnya menguap sebentar, tanda baru sadar dari alam bawah sadarnya. Sekarang pandangannya masih kosong, otaknya baru saja diputar untuk menambah kesadarannya. Digaruknya perlahan rambut acak-acakan khas Gilbert Reinbach, membuatnya semakin tampak semrawut.

Kedua lengannya direntangkan lebar, berusaha meregangkan ototnya yang kaku saat tidur siang tadi.

SREK.

Terdengar suara langkah kaki yang menginjak rerumputan di dekatnya secara perlahan. Hmm? Matanya yang mulanya menyipit perlahan menajamkan pandangannya, berusaha melihat sosok yang melintasi batas Hutan Terlarang.

Tubuhnya ditegakkan, kemudian berdiri dengan santai dan menghampiri pemuda yang dikenalnya sebagai Schuyler. Satu dari beberapa orang tukang pembawa masalah di asrama Gryffindor. Lengannya memeluk pundak pemuda itu dan memitingnya dengan supaya dia tidak bisa bergerak.

“Kau mau kemana hmm?” tanya Gilbert pada akhirnya.

Start of Term Feast Part 1

Gryffindor

Tidurnya cukup nyenyak di sepanjang perjalanan ke Hogwarts tadi sore. Sekarang meskipun matanya sudah terbuka lebar, masih nampak sedikit kelelahan. Bukan kelelahan lebih tepatnya, tatapan malas saat harus kembali ke sekolah. Bertemu dengan semua pelajaran dan tugas-tugas yang menumpuk. Maklum, Gilbert bukanlah seorang Lymsleia Reinbach yang justru senang dengan hal-hal seperti itu.

Dirinya sudah melahap sepotong pai apel yang disuguhkan, tidak ingin makan sesuatu yang berat. Pialanya yang berisi jus labu disesapnya dengan malas. Ah, besok sudah mulai lagi? Dan lihatlah itu disana, di meja asrama gagak. Kakaknya yang berekspresi serius sedang berdiri memberikan pidato.

Benar juga, gadis itu sekarang sudah menjadi prefek kelas lima. Rasanya baru kemarin Gilbert mengantarkan gadis itu ke Diagon Alley untuk membeli tongkat pertamanya. Senyumnya diulas nakal, kemudian bangkit dari kursinya dan berjalan dengan perlahan ke arah meja Ravenclaw—tempat kakaknya sudah duduk kembali. Di sebelah tangannya menggenggam piala yang berisi jus labu, dan tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku jubah.

Ravenclaw

“Well, well, congratulation Lea,” Gilbert meletakkan tangannya yang bebas ke pundak kakaknya dan memaksa tubuhnya duduk diantara gagak-gagak muda itu. Gilbert mendaratkan kecupan selamat di pipi gadis itu cepat, memang dirinya tidak bisa dibandingkan dengan kakak tersayangnya ini.

“Pidato yang singkat dan cukup menawan,” tampak cengiran lebar di wajahnya yang terbingkai oleh rambut berantakan khas seorang Gilbert Reinbach. Bibirnya sudah mengecap jus labu dalam pialanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling meja asrama gagak.

Ah… Wajahnya tampak terkesiap namun senang, melihat seseorang yang pernah ditemuinya di toko buku beberapa minggu lalu. Tubuhnya segera dibangkitkan lagi dengan bersemangat dan berjalan menuju gadis itu.

“What are a princess doing here?” ucapnya sambil menggenggam tangan gadis bersurai pirang panjang itu. “Sitting with such peasants like us,” senyumnya diulas hangat sambil mengangkat pialanya. Tanda bahwa seorang Gilbert senang bertemu dengannya disini.

“Gilbert Reinbach at your service Milady,” ucapnya sambil sambil menyilangkan tangannya yang bebas di depan dada, dan sedikit membungkuk.


Interaksi dengan Lymsleia Reinbach dan Roxanne Roland.

“Ssssh!” Part 4

Nah, nah sepertinya Gilbert sudah keterlaluan membuat gadis ini semerbak merah seperti bunga mawar yang baru saja mekar di taman. Matanya sekarang meneduh, berusaha membaut gadis itu tidak gugup lagi. Tapi harus bagaimana? Semakin Gilbert mendekat tampaknya gadis itu semakin gugup.

Tangannya dilepaskan perlahan dari genggaman gadis itu, berusaha tidak meninggalkan kesan bahwa dirinya jengah. Sebelum benar-benar dilepaskan, kedua telapak tangannya menangkup lembut meyakinkan gadis itu, “Tidak usah gugup, aku tak bermaksud buruk kok.”

Gilbert berdiri sepenuhnya sekarang, kemudian mengusap lembut ujung kepala gadis itu. Berusaha menenangkannya. Dia bilang tidak mengerti maksud Gilbert tentang hal itu. Pemuda Reinbach itu menggaruk kepalanya pelan, berusaha menjelaskan dengan sesederhana mungkin.

“Memang puteri yang di istana itu sungguhan, tapi semua gadis layak diperlakukan seperti seorang puteri. Bukankah begitu?” tanya Gilbert tidak paham. Kalau memang ada gadis yang tidak ingin diperlakukan seperti itu, mungkin karena belum pernah saja.

“My my, kita sudah mengobrol panjang, tapi aku belum tahu namamu,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya. “Namaku Gilbert Reinbach.”

“Ssssh!” Part 3

Bisa dirasakannya kegugupan gadis di hadapannya itu. Wajahnya yang semerah tomat, nafasnya yang sedikit tidak teratur. Gilbert tersenyum lebar. Tidak, bukannya dia puas menggoda. Hanya saja melihat seorang gadis salah tingkah itu sangat menghibur.

Seharusnya semua orang tahu, tak ada hal yang gratis di dunia ini. Begitu pun dengan kasih sayang. Sesungguhnya, yang seharusnya dibalas dengan kasih sayang juga. Yang Gilbert ketahui hanya kasih sayang ibunya lah yang tak perlu berbalas. Meskipun Gilbert sudah sangat bengal terhadap ibunya, toh ibunya tetap mencintainya.

Apalagi setahun yang lalu saat dia tidak naik kelas. Hampir saja ibunya menyuruhnya pindah ke sekolahmuggle saja. Takut kalau-kalau dunia sihir tak cocok untuknya, karena tak bisa dipungkiri bahwa dirinya bukan Lea. Ah, gadis di hadapannya juga tak akan tahu bahwa dia seharusnya sudah kelas tiga.

Dahinya mengernyit karena jawaban gadis itu, tidak bisa memenuhi permintaan Gilbert karena dirinya bukan seorang puteri? Gilbert tahu ada beberapa gadis yang merasa tak pantas dianggap sebagai seorang puteri. Tapi dia tahu, tak ada gadis yang tak senang jika diperlakukan layaknya seorang puteri kerajaan.

Maka dari itulah, sekarang Gilbert berlutut, kepalanya mendongak memandang gadis manis itu. Tangannya meraih telapak tangan kanan gadis itu dan mengecupnya lembut.

“Tapi semua gadis adalah seorang puteri untukku, Nona Manis,” ucap Gilbert sambil masih menggenggam tangan mungil tersebut.

When My Guitar Gently Weeps Part 2

Gadis berambut biru itu tampak sedang menunggu pesanannya. Gilbert merasa familiar setelah memandang wajahnya lamat-lamat. Apakah seorang gadis yang bersekolah di Hogwarts? Atau bahkan jangan-jangan mereka seasrama? Entahlah. Gilbert juga tidak terlalu peduli.

Kemudian dia tampak mencari-cari sesuatu di sakunya, kemudian meminta maaf pada Gilbert karena tak memiliki uang recehan. Oh? Dikira dirinya pengamen? Gilbert menghentikan petikan gitarnya dan tergelak.

“Do you really think I am a street musician?” tanya Gilbert geli. Dirinya tak sadar bahwa rambut gondrong acak-acakan miliknya yang membuat dirinya dikira pengamen.

Gilbert menggeleng pelan sambil tersenyum lebar, “Bagaimana bisa aku yang tampan ini…” menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sehingga membuat rambutnya makin acak-acakan, “…dikira pengamen.”

Usahanya gagal, padahal maksudnya membuat gadis-gadis jatuh cinta karena rayuannya, malah dikira pengamen.

Betapa lucu nasib mempermainkannya.

“Ssssh!” Part 2

Jika biasanya Gilbert hanya mengisengi gadis-gadis di sekitarnya dengan kata-kata, kali ini berbeda. Mungkin kali ini dirinya lebih spontan saat berinteraksi dengan mereka? Bisa jadi. Jadi jangan salahkan seorang remaja yang sedang pesat dalam pertumbuhan sekundernya.

Sungguh Gilbert? Mengecup jari telunjuk seorang gadis kecil?

Wajah gadis pirang itu sekarang bersemu merah seperti tomat, membuatnya tertawa kecil. Lucu sekali jika seandainya Gilbert memiliki cermin untuk ditunjukkan padanya. Belum lagi pekik kecil yang keluar dari bibirnya yang merah. Tak bisa ditahan tawanya, Gilbert terkekeh pelan melihat reaksi gadis itu.

Bibir kecilnya bertanya balik imbalan seperti apa yang diinginkannya. Alis sebelah kanannya terangkat, sedikit tidak percaya bahwa gadis ini menganggap serius permintaannya. Segera Gilbert mendekatkan wajahnya dan menatap gadis itu dalam-dalam.

“Really?” tanyanya sedikit ragu.

Kemudian kepalanya ditolehkan ke arah kiri sehingga pipi kanannya menghadap wajah gadis itu.

“A little kiss from a princess would do me good.”

Sebuah cengiran lebar terbit dari bibir Gilbert.

“Ssssh!” Part 1

Kenapa pula dirinya harus berdiri disini?

Menemani Lymsleia Reinbach ke toko buku adalah neraka dunia buat Gilbert. Dia tak akan berhenti mencari buku-buku untuk menghabiskan hari-harinya di Hogwarts yang lebih sering membuat kakaknya muram. Well, di rumah semua tahu bahwa buku adalah tempat pelarian Lea.

Jadi dia disini, di balik rak-rak buku raksasa Flourish and Blotts. Menanti kakaknya menyusuri rak buku sialan itu, dan nanti mungkin harus membawakan semua buku-buku itu pulang ke rumah. Kata Lea dirinya kan bakal menjadi pemuda yang kuat, seharusnya membawa buku-buku itu nanti adalah hal yang mudah.

Pikirannya terpecah saat ada anak kecil seusianya memanggil-manggil sebuah nama, tampak mencari seseorang. Kepalanya ikut celingukan mencari sumber suara tersebut. Tiba-tiba sebuah jari kecil disilangkan di depan bibirnya, menyuruhnya bungkam akan keberadaan si pemilik jari kecil itu.

Kedua alis Gilbert bertautan, mengernyit sebentar, kemudian perlahan menghilang dengan diiringi sebuah senyuman tanda mengerti pada gadis berambut pirang itu. Gilbert mengecup pelan telunjuk si pirang dengan gemas, “Tentu saja jika kau memberiku imbalan.”

When My Guitar Gently Weeps Part 1

Musim panas, rambutnya dibiarkan panjang berantakan menutupi tengkuknya yang kegerahan membuat Gilbert sedikit tidak nyaman. Dirinya sudah cukup besar sekarang, tidak perlu berbelanja bersama ibunya atau kakaknya Lea yang bisa sangat cerewet karena Gilbert yang semaunya sendiri.

Di punggungnya tampak sebuah bungkusan besar, dari bentuknya sudah kelihatan bahwa itu adalah sebuah gitar. Musim panas kali ini dirinya sibuk mempelajari alat musik yang tampaknya bisa membuat Gilbert digandrungi gadis-gadis. Sebuah siaran radio yang membahas tentang selera gadis tentang laki-laki idaman membuatnya berinisiatif membeli gitar.

Katanya, laki-laki yang menyanyikan lagu pada seorang gadis terlihat sangat keren. Katanya sih. Karena itu dia sekarang masuk ke Leakey Cauldron pada pukul dua siang, saat teman-teman sekolahnya mulai mengakhiri hari berbelanja mereka dan beristirahat di bar itu. Dia duduk di meja tengah, posisinya cukup strategis.

Hela nafas sebentar, tangannya menyisir rambut panjangnya asal. Berharap efeknya membuat gadis-gadis itu terpukau. Dikeluarkannya gitar akustik dari bungkusnya, kemudian memetik beberapa nada awal. Pandangan diedarkan ke sekeliling ruangan, mencari gadis yang duduk terdekat dengan mejanya. Ah, itu dia…

Jreeeeng.

Sorot matanya melembut, memandang gadis yang sedang duduk tenang menghabiskan minumannya. Dan Gilbert berdeham pelan. Kursinya diputar menghadap gadis itu dan memulai lagunya.

“Is there anybody going to listen to my story…” suara Gilbert melantunkan lirik sendu sambil memetik gitarnya, “…all about the girl who came to stay.”


Credit :

Freefall Part 9 [Fin]

Matanya masih mengerjap pelan melihat ekspresi pemuda itu dari jauh. Ah, apakah yang dikatakannya nyata? Atau… hanya bualan? Entahlah. Tidak ada yang tahu. Gilbert hanya mengangguk-angguk memuaskan angan pemuda di depannya sambil ikut menguap lebar.

“Yah, kalau begitu aku tak akan repot mencarinya jika tak ada petanya,” ucapnya malas. Sejak kapan sih seorang Gilbert Reinbach bersusah payah demi hal-hal yang belum jelas ujungnya?

Masuk ke kelas yang jelas ujungnya saja dia ogah-ogahan. Bagaimana sih.

Pemuda itu kemudian beranjak dari tempat duduknya dan segera menepuk pundaknya pelan sebagai tanda berpamitan. Dia hanya mengangguk lemah menjawab gerakan Rainriver.

“Well, good night,” tutupnya dengan senyum manis. Rainriver pun mulai menapaki tangga turun dan Gilbert segera tertidur di singgasana kecilnya.

FIN