Freefall Part 6

Menurut ternyata dia. Si Rainriver muda itu pada tawarannya untuk duduk di jendela yang menghadap ke danau hitam. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, pepatah bilang. Hela nafas lagi. Sepertinya hal itu jauh membuatnya lebih tenang daripada mengelus-elus dadanya.

“Bagaimana? Cukup mengagumkan bukan?” tanya Gilbert sambil masih melemparkan tatapannya jauh ke arah permukaan Danau Hitam.

Ah…

Gilbert mengernyitkan dahinya kembali. Kedua alisnya bertautan seperti orang yang sedang memikirkan jawaban ujian sejarah sihir. Peta harta karun dia bilang. Bukannya Gilbert tidak percaya pada cerita macam itu, hanya saja pemuda itu tampak sangat polos ketika menjawab pertanyaannya.

Pandangannya masih menatap rambut pirang Rainriver sambil mengangguk pelan tanda menyetujuinya, “Mungkin… kau benar.” Karena Gilbert menganggap pemandangan itulah harta karunnya.

Sekarang kepalanya disandarkan lagi pada daun jendela, pandangannya menatap lurus Rainriver dan bertanya jenaka, “Darimana kau dapatkan peta harta karun itu?”

Iseng. Barangkali harta karun itu benar-benar ada, bisa saja Gilbert ikut merasakannya.

Freefall Part 5

“Mhm, fair point,” ucap Gilbert sambil menganggukkan kepalanya pelan.

Pandangannya dibuang kembali ke arah luar sebentar, menarik nafasnya untuk beberapa saat. Memberikan dirinya sendiri waktu untuk memilih, apakah mempersilakan Rainriver untuk duduk dan mengobrol dengannya, atau dirinya memilih pergi dari sini dan memberikan pemuda itu kesempatan untuk menyendiri.

Kepalanya diputar kembali menghadap Rainriver yang sedang terlihat… tercengang? Senyumnya disunggingkan ringan, kemudian tangannya menunjuk ke arah daun jendela di sebelahnya yang masih kosong, “Karena sudah disini, kenapa tidak duduk saja disini bersamaku?”

Gilbert melihat ke arah danau hitam yang terlihat tenang di malam hari, meskipun dirinya sendiri tidak tahu apakah di dalam danau tersebut sama tenangnya seperti di permukaan. Tangannya mengacak rambutnya perlahan, tanda bahwa dirinya sedang banyak pikiran. Ah, tapi memang rambutnya sudah acak-acakan dari dulu. Siapa yang akan peduli?

“Say Rainriver, kau tahu darimana tempat yang indah ini?”

Meskipun sebenarnya bukan tempat yang terlalu rahasia jika tampak dari luar kastel, namun tangga naik ke kastel ini tidak ditemukannya dengan mudah. Istilahnya, tempat ini seperti peraduan keduanya selain kasurnya di asrama singa.

Freefall Part 4

Gilbert tergus geli saat melihat Rainriver mengelus-elus dadanya sendiri. Seolah-olah gerakan tersebut bisa membuat dirinya tenang. Lagipula apa sih yang membuatnya tidak tenang awalnya? Bertemu dengan teman sekelasnya disini tampaknya bukan hal yang aneh.

“Kenapa kau terlihat seperti habis melihat hantu?” tanya Gilbert akhirnya. Bukannya hantu sudah biasa berseliweran di dalam kastel ini?

Gilbert memicingkan matanya pada pemuda itu, sebenarnya karena darimana asal pengetahuan pemuda itu tentang tempat ini? Sebetulnya… ini adalah tempat rahasianya untuk membolos sejak tahun lalu.

Iya. Tertidur disini setiap dirinya tak ingin masuk kelas membuatnya tidak naik kelas tahun kemarin.

“Berjalan-jalan?” Gilbert mengangkat alisnya. Sedikit aneh untuk anak kelas satu berjalan-jalan disini. Malam hari pula.

“Well, disini bukan tempat yang cocok untuk berjalan-jalan Rainriver,” Gilbert menyunggingkan cengirannya yang paling lebar.

Siapa tahu, pemuda ini juga berbakat mencari tempat-tempat tersembunyi seperti dirinya.

Freefall Part 3

Kenapa?

Kenapa Gilbert merasakan itikad tidak baik dari pemuda rambut pirang yang disapanya barusan? Alih-alih menyapanya balik, malah terlihat meraih tongkatnya yang berada di saku jubahnya. Apakah ini pertanda bahwa rambut gondrongnya harus dipotong habis?

Tapi kan… ini gaya rambut paling cool menurutnya. Hmpf.

Matanya sudah bisa menangkap bayangan seorang Rainriver muda yang menghampirinya dengan mata awas. Diurungkannya niat untuk mengacungkan tongkat ke arahnya, untung saja sudah dimasukkan kembali, kalau tidak bisa-bisa Gilbert ikut kaget kemudian jatuh bebas dari jendela menara.

Kemudian buletin sekolah Hogwarts akan memuat berita tentang dirinya dengan headline yang terdengar bodoh, “Seorang Pemuda Tampan Baru Saja Tewas Terjatuh dari Menara Kastel Karena Kaget.” Well,dianggap seorang pemuda tampan bukan hal yang buruk juga sih.

“Halo Rainriver, kau sedang apa kemari malam-malam?” akhirnya Gilbert bertanya saat pemuda itu menyadari siapa dirinya.

Freefall Part 2

Terdengar suara langkah kaki yang menapaki tangga menara yang sedang dijadikannya tempat merenung malam ini. Iris matanya yang gelap semakin terlihat mengkilat saat dirinya menyadari ada sosok lain yang akan muncul dari seberang ruangan.

Ah, itu dia…

Senyumnya disunggingkan manis pada sesosok pemuda yang sering dilihatnya di kelas. Rambutnya pirang dan berpotongan rapi, tidak seperti dirinya yang terlihat acak-acakan. Gilbert sedang tidak ingin mencari masalah dengan orang lain, tentu saja dia tak ada niat buruk pada pemuda itu meskipun niatnya disini adalah menyendiri.

Dan sudah digagalkan oleh pemuda Slytherin tersebut.

“Well, hello you…” sapa Gilbert padanya.

End of Term Feast (1986) Part 1

Gryffindor


Whoa.

Mata Gilbert mengerjap pelan melihat aula besar kali ini dihiasi ornamen merah dan oranye seperti ruang rekreasi asramanya. Kepalanya mengangguk-angguk pelan tanda bahwa dirinya sangat menyukai dekorasi malam terakhirnya tahun ini di Hogwarts.

Ah…

Sekarang dirinya sudah duduk tenang, menanti pengumuman bahwa asramanya yang memenangkan Piala Asrama tahun ini. Syukurlah. Paling tidak dirinya tidak menyebabkan pengurangan poin dari asramanya tahun ini.

Gelas yang dipegang oleh Albus Dumbledore sudah berdenting, tanda makanan seharusnya sudah keluar dan bisa dinikmatinya. Ah well, dia sedikit bosan dengan menu makanan sekolah ini yang itu-itu saja. Toh habis ini dia pulang, dia bisa menikmati makanan di meja itu lain kali.

Tangannya meraih sepinggan pai apel yang masih mengepul hangat, mengambil seiris dan meletakkan di piringnya. Gilbert hanya ingin menikmati makanan penutupnya saja malam ini. Karena, dirinya tidak yakin apakah tahun depan dia masih akan tinggal kelas atau tidak.


Open interaksi.

Jerat Setan-Setanan Part 8 [Fin]

Rupanya pria paruh baya tersebut sudah menjauh kembali dari rumah kaca tempat Gilbert dan Davin bersembunyi. Bukannya dia tidak punya nyali jika ketahuan, buktinya saja dia malam-malam sudah berada di rumah kaca untuk mengerjakan tugas tambahannya. Dia sudah mengecewakan orang tua dan kakaknya tahun lalu, kalau sekarang ketahuan Filch dan membuatnya kena detensi, sama saja mempermalukan keluarganya sendiri bukan?

Gilbert tahu hal itu. Sangat tahu. Harga diri keluarganya harus dijaga, sekeras apa pun Gilbert ingin terlepas dari harapan mereka.

“Tenang saja, tugasnya masih dua hari lagi kok,” ucap Gilbert sambil mengibaskan tangannya pelan. Tentu saja itu artinya besok siang dia harus kemari lagi untuk menyelesaikan semua tugas tambahannya. Gilbert segera keluar dari kolong meja dan menuju tempatnya menggelar perkamen. Dilipatnya semua lembaran perkamen yang berserakan menjadi satu, kemudian memasukkan semua alat tulisnya ke dalam saku jubahnya.

“Ayo,” ajaknya pada pemuda berambut pirang yang suka kelewatan berisik itu. Gilbert mengeluarkan tongkatnya dan menyalakan ujung tongkatnya kembali untuk keluar dari rumah kaca.

“Perhatikan langkahmu, jangan sampai tersangkut kaki meja,” Gilbert memberikan peringatan pada pemuda itu untuk yang terakhir kalinya sebelum mereka berdua kembali ke asrama Gryffindor.

FIN

Hard Headed or Hard-boiled Eggs? Part 5

Cih. Bau amis dari cairan kuning itu sudah menguar dari dahinya. Well, tidak menyenangkan juga. Sepertinya karma karena menertawakan pemuda Something-wood tadi. Gilbert mengambil sapu tangan di saku jubahnya dan segera mengelap dahinya dengan asal-asalan.

Kemudian bibirnya tersenyum pada pemuda berambut pirang yang menghampirinya, “Well, kurang lebih ada 50 butir?” jawab Gilbert tidak yakin, “Entahlah Rico, yang jelas aku meninggalkan 10 butir yang tidak direbus.” Ah, dan sekarang sisa delapan butir yang belum ditemukan olehnya. “Ayo, kau juga harus mencoba keberuntunganmu!” seru Gilbert pada temannya itu.

Gilbert melihat seorang senior dari asrama Hufflepuff yang mendekatinya, ekspresinya seperti menahan tawa saat melihat dirinya memecahkan telur mentah itu di dahinya. Well, memang tadi Gilbert juga tertawa sih saat melihat temannya terkena telur mentah. Ah, tapi sayangnya seniornya yang berkacamata itu cukup beruntung hari ini, “Silakan menikmati telur rebusnya Senior.”

Oke, sekarang sudah gilirannya lagi dalam permainan egg roullete-nya sendiri.


8 | Telur pecah : 2 (Heinrich Caywood, Gilbert Reinbach)

Freefall Part 1

Kedua iris gelap itu semakin terlihat cemerlang saat terkena sinar bulan yang tampak memantul indah di permukaan Danau Hitam. Gilbert yang baru saja menyelesaikan makan malamnya di aula segera beranjak ke salah satu menara Hogwarts untuk menjernihkan pikiran.

Ah, tentu saja. Sekarang musim dingin sudah mulai menghangat, udara musim panas sudah mulai merasuki ruang-ruang tinggi di kastel Hogwarts. Wajah Gilbert setengah termenung, sedang duduk santai di salah satu jendela di menara yang menghadap ke arah danau, bahunya bersandar lemah di pinggiran jendela.

“Aah…” helaan nafas panjang terdengar dari mulut pemuda berambut berantakan itu.

Bagaimana kalau dia tidak naik kelas lagi tahun ini?

Hard Headed or Hard-boiled Eggs? Part 4

Mhm. Untung saja telur yang dipilih Gilbert adalah telur matang. Kepalanya aman dari cairan mentah kekuningan yang bau amis itu. Kemudian Gilbert tertawa jumawa, bangga melihat keberuntungannya yang ketiga kali.

Ah, tapi jangan sombong dulu karena bisa saja nanti malah dirinya yang terkena pecahan telur itu.

Sekarang giliran si pemuda yang berambut cokelat gelap. Pemuda itu langsung mengambil salah satu telur dan memukulkannya keras-keras ke dahinya. Dan…

Ctaak!

Cairan kekuningan mengalir pelan dari dahi pemuda yang bernama Something-wooditu. Gilbert tertawa keras tak ada habisnya, membuatnya tersedak karena kehabisan nafas. Sudah, sudah. Nanti karma akan menimpa dirinya sendiri.

“Tak sia-sia rupanya aku menyiapkan telur-telur ini selama satu jam,” ucap Gilbert sambil mengusap air matanya karena terlalu banyak tertawa.

Sekarang seorang gadis yang berperawakan langsing mendekat, sedari tadi Gilbert tahu dia ragu dan hanya memperhatikan saja. Akhirnya dia mengajukan diri untuk mengikuti permainan ini.

“Tentu saja boleh, Nona,” ucap Gilbert ramah seperti penjual permen kepada anak-anak. Padahal dirinya sedang menawarkan jebakan yang belum jelas hasilnya pada gadis manis itu. Tak lama kemudian dia mengambil sebutir telur dan memukulkannya keras-keras.

Ah, ternyata telur matang. Gilbert tersenyum lembut dan mempersilakan gadis itu untuk memakannya, “Well, kau sedang beruntung Nona. Silakan menikmati.”

Oke, gilirannya lagi. Sekarang tangan kirinya menutup kedua matanya, sedangkan tangan kanannya mengambil telur di nampan itu secara acak. Ugh. Semoga saja selamat lagi kali ini. Kemudian Gilbert memukulkan telur itu keras-keras ke dahinya.


3 Telur pecah = 1 (Heinrich Caywood)