Freefall Part 2

Terdengar suara langkah kaki yang menapaki tangga menara yang sedang dijadikannya tempat merenung malam ini. Iris matanya yang gelap semakin terlihat mengkilat saat dirinya menyadari ada sosok lain yang akan muncul dari seberang ruangan.

Ah, itu dia…

Senyumnya disunggingkan manis pada sesosok pemuda yang sering dilihatnya di kelas. Rambutnya pirang dan berpotongan rapi, tidak seperti dirinya yang terlihat acak-acakan. Gilbert sedang tidak ingin mencari masalah dengan orang lain, tentu saja dia tak ada niat buruk pada pemuda itu meskipun niatnya disini adalah menyendiri.

Dan sudah digagalkan oleh pemuda Slytherin tersebut.

“Well, hello you…” sapa Gilbert padanya.

Potion I

Wajahnya yang mengantuk berat gara-gara tugas esai professor Snape semalam segera tersadarkan oleh suara berdebum keras yang berasal dari buku-buku ramuan sekelas yang tiba-tiba tertutup bersamaan. Matanya serasa ingin melompat dari rongga matanya saat melihat professor Snape menuliskan nama ramuan di udara.

Tunjuk satu orang. Well, untung bukan dirinya yang tidak bisa berpikir jernih di kala mengantuk. Gilbert hanya menyiapkan gulungan perkamen tugas esainya di genggaman. Siapa tahu dia bisa mengintip kalau nanti ditunjuk oleh professor.

Gil duduk tegak dan mendengarkan dengan hati-hati setiap kata yang diucapkan oleh Professor Snape. Tentu saja, dia seorang Ravenclaw yang baik kan? Mana boleh bermalas-malasan? Bisa-bisa Lea yang akan menggamparnya jika dia tak lulus kelas ramuan begini saja.

Fiery [1984-1985]

Sekarang cuacanya hujan deras. Seharusnya Gil bergelung di tower Ravenclaw sambil tertidur pulas. Kenapa pula dia harus hadir ke kelas mantra? Apalagi senior Fitzroy yang mengajarnya. Menyedihkan.

Kali ini mantra untuk menyalakan api. Sebuah lilin sudah berada di atas masing-masing meja mereka. Dinginnya suhu saat itu membuat lilin seolah-olah berkata, “Nyalakan aku!” Dan Gil hanya menggeleng melihat halusinasinya semakin parah.

“Lacarnum Inflamare!”

Semoga saja lilinnya langsung nyala. Supaya Gil tak perlu susah-susah mencoba mantranya lagi.


[result]1&1,1d2,0,1&1d2[/result]

Anniversary

Kakiknya kaku. Punggungnya bersandar di sebuah pohon yang cukup rindang. Kepalanya pening ingin istirahat, maka disinilah ia sekarang. Menikmati semilir angin di pinggir danau memang tiada duanya. Tangannya meraih tongkat sihirnya yang berada di saku jubahnya dan mengayunkannya dengan lembut. Seperti berusaha belajar mantra levitasi.

Gil melihat beberapa biji tanaman yang berjatuhan dan karena pikirannya masih selalu iseng, diayunkannya tongkatnya pada salah satu biji itu sambil merapalkan mantra levitasi.

“Wingardium Levi-o-sa.”

Pelan-pelan biji itu terangkat melayang-layang sesuai arah tongkatnya. Tiba-tiba ada sesosok rusa betina yang berlari melewati biji yang sedang diterbangkannya. “Huwaa!!” Gilbert kaget melihat rusa itu dan konsentrasinya pada mantra levitasinya pun buyar.

Gilbert berdiri dan mencari-cari arah tempat berlarinya rusa itu. Tapi rusa itu sudah tak kelihatan di manapun.

“A-Apa itu tadi?” Gilbert semakin pusing karena tidak memahami apa yang baru saja dilihatnya. Mungkin Lea tahu. Lebih baik dia bertanya pada kakaknya. Gil melangkahkan kakinya pergi dari danau menuju perpustakaan tempat kakaknya mengerjakan tugas.

Numpang Lewat.

Pena bulunya bergerak mengetuk-ngetuk perkamen di hadapannya. Ada kalanya Gil rindu Aria—ibunya—tinggal jauh dari orang tua kadang rasanya… tidak enak. Matanya berkedip-kedip bingung, tingkah yang biasa dilakukannya saat kebingungan. Dan juga galau.

Musim semi hampir saja habis, kenaikan kelas akan segera datang. Seharusnya seorang Reinbach belajar keras supaya naik kelas. Tapi tidak dengan Gil, dia sedikit… berbeda dengan Lea. Entah karena lebih senang mempelajari tentang ilmu pengetahuan muggle. Atau karena teman-teman yang ia tinggalkan di dunia muggle sana.

 
Hai Mum, apa kabarmu? Lama tak berjumpa rasanya aku menjadi kangen. Disini aku mudah kelaparan. Entah karena hawa kastil yang tidak cocok dengan tubuhku atau memang perutku yang sedikit melar sekarang.

Kalau besok aku pulang, buatkan aku pai buah yang lezat ya, Mum. Lea disini selalu memarahiku karena aku malas. Jadi aku butuh sedikit hiburan saat pulang nanti.

Salam cinta dari anak laki-lakimu yang paling tampan

Gilbert Reinbach

Gil menggulung perkamennya dan segera berlari ke sarang burung hantu untuk mengirimkan suratnya. Mungkin Mum akan membalasnya esok hari. Langkahnya berderap pasti menuju keluar aula.

Ambil Roti Satu Gratis Ramalan Satu

Gilbert sedang berjalan menyebrangi aula saat senior Lancaster sedang membagi-bagikan sesuatu. Kau tahu kan perut anak usia 12 tahun selalu merasa lapar? Begitulah Gilbert disini. Kelaparan. Keributan itu semakin banyak, ternyata senior Lancaster mendapat fortune cookies disana.

Gilbert matanya berkilat, berlari menuju kerumunan itu dan mengambil satu buah kue. Dimasukkannya kue ke mulutnya sebelum menarik kertas ramalan yang ada di dalamnya.

“Your problem just became a stepping stone. Catch your moments.”

Hmm. Kalau memang masalah yang akan dihadapinya menjadikannya lebih dewasa mungkin ramalan ini cukup benar. Masalah apa yang akan menimpanya? Tidak naik kelas? Paling kakaknya Lea yang akan mengomelinya habis-habisan. Gil berjalan menjauh dari kerumunan dan masuk ke aula untuk mencari sisa makanan di dapur. Semoga saja peri rumah tidak melemparnya dengan sendok sayur.

Numpang Lewat

Gil melangkahkan kakinya dengan cepat melewati jembatan itu. Janjinya kepada Lea untuk tidak menghabiskan waktunya untuk bermain saja di luar sepertinya terlupakan. Kakaknya sedang menunggunya di perpustakaan untuk membantunya mengerjakan esai dari kelas transfigurasi.

Mendekap beberapa meter perkamen dan pena bulu, sebotol tinta dan memfokuskan langkahnya supaya tidak jatuh sepertinya cukup sulit. Apalagi jika jembatan itu banyak dilalui oleh anak-anak yang lebih besar darinya. Tentu saja, dia kan masih kelas satu.

Ujung jembatan sudah terilhat di sudut matanya dan kakinya seolah-olah mempercepat langkahnya untuk mencapai perpustakaan. Lea sudah menunggu. Mungkin dia nanti akan memanggangnya jika dia terlambat lebih lama lagi.

It Won’t Be Long Part End

Baru kali ini Gilbert melihat wajah kakaknya memerah seperti tomat. Well, kesempatan yang bagus karena jarang sekali Lea mempunyai kelemahan.

“Bagaimana aku bisa tahu? Ckckck, aku kan detektif Lea…” Gilbert sengaja menggoda kakaknya. Bibirnya berusaha terkatup rapat supaya tidak tertawa terbahak-bahak namun gagal. Berikutnya Lea mengancam jika dia menyebarkan rahasianya.

“Eh? Kalian kan tidak pacaran? Kenapa harus bingung?” Gilbert menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Santai saja Lea, aku tak tertarik dengan kehidupanmu kok—kecuali jika kau menggangguku nanti di sekolah. Heh.” Gilbert sedikit mengancam balik kakaknya. Dan hasilnya adalah Lea menyumpahinya supaya membusuk di Gryffindor. Well, tak masalah toh itu memang keinginannya dari awal.

Lea segera pamit tidur, mungkin mood-nya memburuk gara-gara ancaman Gilbert. “Enak saja, aku juga ingin tidur, dasar cerewet.”

Gilbert segera menyandarkan kepalanya dan segera terlelap dalam beberapa detik kemudian.

It Won’t Be Long Part 3

“Begitu ya?” Gilbert hanya mengangguk kurang puas karena memang ibunya juga berat melepaskan kakaknya pergi dua tahun lalu. Karena saat itu dia juga ikut mengantar, dan dia tidak bisa memungkirinya.

“Rindu sekolah? Yakin?” Gilbert menanyai Lea dengan setengah menggoda. “Memangnya kau rindu sekolah atau rindu pacar barumu Lea?” tanya Gilbert sambil terkikik. Pemandangan yang dilihatnya saat mereka di kedai es krim membuatnya kaget. Karena bagaimana bisa seorang pendiam seperti Lea bisa mempunyai cowok?

“Eh? Jadi aku tak bisa menentukan keinginanku ya berada di asrama mana?” Gilbert sedikit cemberut. “Tapi jika aku memang tak pintar dan rajin, tentu saja tak akan masuk Ravenclaw kan?” Mungkin dia masuk Gryffindor. Sepertinya lebih menyenangkan.

It Won’t Be Long Part 2

Kompartemen yang dilewatinya sudah ramai dengan anak-anak seumurannya yang sudah bercanda tawa dan juga memakan berbagai macam makanan sihir di dalamnya. Gilbert masih harus berjalan lebih jauh lagi supaya menemukan dimana kakaknya duduk. Dimana sih gadis cerewet itu duduk? Kenapa masih belum ketemu? Gilbert menggosok-gosok rambutnya tanda kebingungan.

Ah, rambut hitam panjang berkuncir kuda khas Lymsleia Reinbach. Gilbert memasuki kompartemen kakaknya dan disambut dengan cercaan dari bibirnya. “Lama? Mum terlalu menyayangiku mungkin? Sepertinya susah melepaskanku pergi.” Gilbert terkekeh pelan. Bukan salahnya jika memang ibunya terlalu sayang padanya.

Gilbert duduk di depan kakaknya, menghadap ke jendela dan melambaikan tangan pada ibunya yang masih berdiri di peron menanti keberangkatan kereta. Lea menawarkan Cokelat Kodok di pangkuannya, ingin membagi kesusahan permen cokelat kurang ajar itu bukan hal bagus menurutnya. “Tidak, aku tak akan memakan permen bodoh macam itu.”

“Umm, Lea bagaimana caranya supaya aku tak masuk Ravenclaw ya?” iseng-iseng bertanya. Mungkin saja dia bisa mengorek pikiran dari seorang Ravenclaw dan memikirkan kebalikannya supaya tidak dimasukkan ke asrama gagak.