Freefall Part 9 [Fin]

Matanya masih mengerjap pelan melihat ekspresi pemuda itu dari jauh. Ah, apakah yang dikatakannya nyata? Atau… hanya bualan? Entahlah. Tidak ada yang tahu. Gilbert hanya mengangguk-angguk memuaskan angan pemuda di depannya sambil ikut menguap lebar.

“Yah, kalau begitu aku tak akan repot mencarinya jika tak ada petanya,” ucapnya malas. Sejak kapan sih seorang Gilbert Reinbach bersusah payah demi hal-hal yang belum jelas ujungnya?

Masuk ke kelas yang jelas ujungnya saja dia ogah-ogahan. Bagaimana sih.

Pemuda itu kemudian beranjak dari tempat duduknya dan segera menepuk pundaknya pelan sebagai tanda berpamitan. Dia hanya mengangguk lemah menjawab gerakan Rainriver.

“Well, good night,” tutupnya dengan senyum manis. Rainriver pun mulai menapaki tangga turun dan Gilbert segera tertidur di singgasana kecilnya.

FIN

Freefall Part 8

Kedua iris hitam pemuda Gryffindor itu melebar saat mendengarkan nada serius dari ucapan Rainriver.Ah, benarkah? Bukankah seharusnya hal-hal tersebut tidak mudah diketahui oleh anak-anak seumurannya? Mestinya sih. Tapi siapa yang tahu juga.

Sekarang Gilbert ikut berpikir keras melihat ekspresi lawan bicaranya. Memangnya ada benda seperti itu?Well, this is magic world. Tak ada yang tidak mungkin. Kepalanya digaruk malas, dia sebenarnya tidak terlalu ingin memikirkan hal-hal sepele seperti ini.

Ah, tapi siapa pula yang tidak penasaran pada ‘warna yang tak pernah dilihat oleh siapa pun’?

Matanya mengerling iseng pada pemuda itu, sekedar ingin tahu seberapa besar imajinasi temannya yang memancingnya untuk berpikir tentang harta karun malam ini.

“Memangnya, kau bisa menyebutkan satu warna yang belum ditemukan oleh manusia?” tanya Gilbert berusaha menggelitik otak Rainriver.

Freefall Part 7

Cih. Rahasia katanya. Gilbert tergelak melihat lagak temannya itu. Sudah seperti agen rahasia saja tingkahnya. Digeleng-gelengkan gemas kepalanya, sambil tangannya masih menutupi mulutnya.

“Really?” tanyanya tak sungguh-sungguh dan melemparkan tatapan tak percaya.

Kaki kanannya dilipat enggan, tangan kanannya diletakkan malas di atas lututnya yang mulai kedinginan karena udara malam yang berhembus. Ah, seandainya ini siang hari mungkin tidak akan sedingin itu. Sisa-sisa cuaca musim dingin masih terasa merasuk ke tulangnya.

Rainriver tampak celingukan melihat keadaan sekitarnya, seperti mencari sesuatu yang seharusnya ada di tempat itu. Alis Gilbert bertautan kembali dengan rukun. Baru kali ini ada seseorang yang berhasil mengernyitkan dahinya lebih dari dua kali dalam satu pembicaraan. Dia bilang harta karun itu mungkin bernilai sangat tinggi. Tapi belum tentu juga yang dikatakannya itu benar.

“Kalau yang kau maksud tidur siang dengan angin sepoi-sepoi yang menghembus wajahmu…” Gilbert berhenti sejenak, “…adalah harta karun yang tak ternilai, mungkin kau ada benarnya.”

Diulasnya cengiran yang lebar itu pada teman sekelasnya.

Freefall Part 6

Menurut ternyata dia. Si Rainriver muda itu pada tawarannya untuk duduk di jendela yang menghadap ke danau hitam. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, pepatah bilang. Hela nafas lagi. Sepertinya hal itu jauh membuatnya lebih tenang daripada mengelus-elus dadanya.

“Bagaimana? Cukup mengagumkan bukan?” tanya Gilbert sambil masih melemparkan tatapannya jauh ke arah permukaan Danau Hitam.

Ah…

Gilbert mengernyitkan dahinya kembali. Kedua alisnya bertautan seperti orang yang sedang memikirkan jawaban ujian sejarah sihir. Peta harta karun dia bilang. Bukannya Gilbert tidak percaya pada cerita macam itu, hanya saja pemuda itu tampak sangat polos ketika menjawab pertanyaannya.

Pandangannya masih menatap rambut pirang Rainriver sambil mengangguk pelan tanda menyetujuinya, “Mungkin… kau benar.” Karena Gilbert menganggap pemandangan itulah harta karunnya.

Sekarang kepalanya disandarkan lagi pada daun jendela, pandangannya menatap lurus Rainriver dan bertanya jenaka, “Darimana kau dapatkan peta harta karun itu?”

Iseng. Barangkali harta karun itu benar-benar ada, bisa saja Gilbert ikut merasakannya.

Freefall Part 5

“Mhm, fair point,” ucap Gilbert sambil menganggukkan kepalanya pelan.

Pandangannya dibuang kembali ke arah luar sebentar, menarik nafasnya untuk beberapa saat. Memberikan dirinya sendiri waktu untuk memilih, apakah mempersilakan Rainriver untuk duduk dan mengobrol dengannya, atau dirinya memilih pergi dari sini dan memberikan pemuda itu kesempatan untuk menyendiri.

Kepalanya diputar kembali menghadap Rainriver yang sedang terlihat… tercengang? Senyumnya disunggingkan ringan, kemudian tangannya menunjuk ke arah daun jendela di sebelahnya yang masih kosong, “Karena sudah disini, kenapa tidak duduk saja disini bersamaku?”

Gilbert melihat ke arah danau hitam yang terlihat tenang di malam hari, meskipun dirinya sendiri tidak tahu apakah di dalam danau tersebut sama tenangnya seperti di permukaan. Tangannya mengacak rambutnya perlahan, tanda bahwa dirinya sedang banyak pikiran. Ah, tapi memang rambutnya sudah acak-acakan dari dulu. Siapa yang akan peduli?

“Say Rainriver, kau tahu darimana tempat yang indah ini?”

Meskipun sebenarnya bukan tempat yang terlalu rahasia jika tampak dari luar kastel, namun tangga naik ke kastel ini tidak ditemukannya dengan mudah. Istilahnya, tempat ini seperti peraduan keduanya selain kasurnya di asrama singa.

Freefall Part 4

Gilbert tergus geli saat melihat Rainriver mengelus-elus dadanya sendiri. Seolah-olah gerakan tersebut bisa membuat dirinya tenang. Lagipula apa sih yang membuatnya tidak tenang awalnya? Bertemu dengan teman sekelasnya disini tampaknya bukan hal yang aneh.

“Kenapa kau terlihat seperti habis melihat hantu?” tanya Gilbert akhirnya. Bukannya hantu sudah biasa berseliweran di dalam kastel ini?

Gilbert memicingkan matanya pada pemuda itu, sebenarnya karena darimana asal pengetahuan pemuda itu tentang tempat ini? Sebetulnya… ini adalah tempat rahasianya untuk membolos sejak tahun lalu.

Iya. Tertidur disini setiap dirinya tak ingin masuk kelas membuatnya tidak naik kelas tahun kemarin.

“Berjalan-jalan?” Gilbert mengangkat alisnya. Sedikit aneh untuk anak kelas satu berjalan-jalan disini. Malam hari pula.

“Well, disini bukan tempat yang cocok untuk berjalan-jalan Rainriver,” Gilbert menyunggingkan cengirannya yang paling lebar.

Siapa tahu, pemuda ini juga berbakat mencari tempat-tempat tersembunyi seperti dirinya.

Freefall Part 3

Kenapa?

Kenapa Gilbert merasakan itikad tidak baik dari pemuda rambut pirang yang disapanya barusan? Alih-alih menyapanya balik, malah terlihat meraih tongkatnya yang berada di saku jubahnya. Apakah ini pertanda bahwa rambut gondrongnya harus dipotong habis?

Tapi kan… ini gaya rambut paling cool menurutnya. Hmpf.

Matanya sudah bisa menangkap bayangan seorang Rainriver muda yang menghampirinya dengan mata awas. Diurungkannya niat untuk mengacungkan tongkat ke arahnya, untung saja sudah dimasukkan kembali, kalau tidak bisa-bisa Gilbert ikut kaget kemudian jatuh bebas dari jendela menara.

Kemudian buletin sekolah Hogwarts akan memuat berita tentang dirinya dengan headline yang terdengar bodoh, “Seorang Pemuda Tampan Baru Saja Tewas Terjatuh dari Menara Kastel Karena Kaget.” Well,dianggap seorang pemuda tampan bukan hal yang buruk juga sih.

“Halo Rainriver, kau sedang apa kemari malam-malam?” akhirnya Gilbert bertanya saat pemuda itu menyadari siapa dirinya.

Freefall Part 2

Terdengar suara langkah kaki yang menapaki tangga menara yang sedang dijadikannya tempat merenung malam ini. Iris matanya yang gelap semakin terlihat mengkilat saat dirinya menyadari ada sosok lain yang akan muncul dari seberang ruangan.

Ah, itu dia…

Senyumnya disunggingkan manis pada sesosok pemuda yang sering dilihatnya di kelas. Rambutnya pirang dan berpotongan rapi, tidak seperti dirinya yang terlihat acak-acakan. Gilbert sedang tidak ingin mencari masalah dengan orang lain, tentu saja dia tak ada niat buruk pada pemuda itu meskipun niatnya disini adalah menyendiri.

Dan sudah digagalkan oleh pemuda Slytherin tersebut.

“Well, hello you…” sapa Gilbert padanya.

Freefall Part 1

Kedua iris gelap itu semakin terlihat cemerlang saat terkena sinar bulan yang tampak memantul indah di permukaan Danau Hitam. Gilbert yang baru saja menyelesaikan makan malamnya di aula segera beranjak ke salah satu menara Hogwarts untuk menjernihkan pikiran.

Ah, tentu saja. Sekarang musim dingin sudah mulai menghangat, udara musim panas sudah mulai merasuki ruang-ruang tinggi di kastel Hogwarts. Wajah Gilbert setengah termenung, sedang duduk santai di salah satu jendela di menara yang menghadap ke arah danau, bahunya bersandar lemah di pinggiran jendela.

“Aah…” helaan nafas panjang terdengar dari mulut pemuda berambut berantakan itu.

Bagaimana kalau dia tidak naik kelas lagi tahun ini?